- Asal usul situs Watu Dukun dan Makna peninggalan
Situs sejarah yang merupakan warisan masa lalu tersebar hampir di seluruh Nusantara, mulai dari jaman praaksara, pengaruh Hindu dan Budha, masuknya budaya dan agama Islam sampai kehadiran pengaruh Barat melalui aktivitas penjajahan. Situs sejarah banyak jenis, ragam, dan bentuknya. Situs sejarah tinggalan jaman praaksara misalnya punden berundak- undak, dolmen, altar, lukisan dalam goa dan sebagainya. Situs tinggalan jaman pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha, misalnya kompleks percandian, istana kerajaan, permandian raja. Situs sejarah tinggalan jaman masuknya pengaruh budaya dan agama Islam seperti Mesjid, makam para ulama atau para wali.4
Situs sejarah dikatakan bermakna simbolik, karena situs sebagai warisan masa lalu merupakan fakta sejarah yang dapat menghubungkan masyarakat dengan masa lalunya. Melalui situs sejarah masyarakat masa kini dapat menghubungkan dirinya dengan masa lalunya. Situs sejarah menjadi perantara untuk menghubungkan antara masa lalu dengan masa kini umat manusia. Dalam kaitan ini, situs sejarah dapat bermakna simbolik yaitu dapat menghubungkan masyarakat dengan masa lalunya. Artinya situs sejarah dapat dijadikan sebagai media yang dapat menjembatani eksistensi manusia masa lalu dengan masa kininya.5
Situs sejarah tinggalan masa lalu yang diwariskan oleh generasi terdahulu bukan hanya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan generasi pewaris masa kini saja, namun juga menjadi milik generasi di masa yang akan datang. Oleh karena itu besar manfaat situs sejarah bagi masyarakat, maka keberadaan situs sejarah tersebut wajib dijaga, dilindungi, dipelihara dalam arti dilestarikan, karena situs sejarah itu dapat menunjukkan identitas atau jati diri suatu bangsa. Keunggulan kebudayaan yang dimiliki dapat dijadikan sebagai identitas atau jati diri bangsa. Situs sebagai fakta sejarah masa lalu merupakan buah budhi dan hasil kreativitas manusia pendukung dari kebudayaan masa lalu itu. Situs sejarah tersebut mereka bangun secara bersama-sama untuk tujuan yang sama karena dilandasi oleh tujuan, cita-cita, dan kebudayaan yang sama.6
Saat itu sekitar tahun 1016 terjadi peristiwa Paralaya. Peristiwa Paralaya adalah dimana kerajaan Medang Kamulan masih dipimpin oleh Raja kedua yaitu Dharmawangsa mengalami kehancuran. Karena peristiwa itu, menewaskan banyak pembesar kerajaan hingga dikatakan bahwa pulau jawa bagai lautan darah. Peristiwa ini terjadi karena keputusan raja Dharmawangsa yang menikahkan menikahkan putrinya dengan Airlangga keponakannya (pangeran keturunan Bali).
Saat terjadinya pernikahan tersebut, Raja Wurawari yang sebelumnya berambisi menikahi putri Raja Dharmawangswa menyerang kerajaan Medang Kamulan. Namun tujuan dari pada menikahi putri Raja Dharmawangsa ini sendiri adalah tidak lain untuk mewarisi tahta kerajaan.
Wurawari adalah penguasa kerajaan kecil yang masih menjadi bawahan kerajaan Mataram Kuno kala itu. Karena kecewa dengan terjadinya pernikahan tersebut, Raja Wurawari melampiaskannya dengan bersekutu pada kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya pernah diserang oleh Raja Dharmawangsa. Dengan bantuan kerajaan Sriwijaya, Raja Wurawari berani melancarkan serbuan untuk menghancurkan kerajaan Medang Kamulan.
Akibat serangan ini, banyak pembesar kerajaan yang tewas termasuk Raja Dharmawangsa dan putrinya sendiri. Setelah Kerajaan Medang hancur, Raja Wurawari kembali ke kerajaannya.
Dalam peristiwa ini Airlangga berhasil menyelamatkan diri dari peristiwa Pralaya Medang dengan cara melarikan diri ke dalam hutan-hutan bersama abdinya Narottama. Narottama adalah pembantu atau teman Raja Airlangga yang setia menemani raja. Menurut prasasti pucangan (prasasti berbahasa sanskerta dan Jawa Kuno berasal dari tahun 1042 M). Prasasti ini peninggalan zaman pemerintahan Airlangga yang menjelaskan tentang beberapa peristiwa serta silsilah keluarga raja secara berurutan. Dalam prasasti ini Airlangga dan Narottama berassal dari Bali.
Pada peristiwa ini Airlangga dan Narottama naik turun gunung dan keluar masuk hutan belantara menyembunyikan diri dari kerajaan musuh. Dalam pelarian ini Airlangga hidup di hutan bertemu dengan Mpu Bharada. Arya Bharada atau yang lebih dikenal nama Mpu Barada merupakan seorang pertapa yang sangat dihormati pada masanya. Mpu Bharada lahir di Jawa, ayahnya merupakan seorang pendeta Budha bernama mpu Lampita. 8 Saat itu Airlangga berguru dengan Mpu Bharada.
Asal usul Watu Dukun sendiri sudah ada sejak masa kerajaan yang dipimpin oleh Darmawangsa.
Situs Watu Dukun adalah situs sejarah peninggalan kerajaan Medang Kamulan Jawa Timur. Situs ini terletak di jalan Raya Pagerukir desa Pagerukir kecamatan Sampung kabupaten Ponorogo di ujung barat berbatasan dengan Wonogiri proinsi Jawa Tengah. Pagerukir adalah satu dari dua belas desa yang berada di Kecamatan Sampung. Beberapa objek wisata di desa ini di antaranya Situs Budaya Watu Dukun (Batu Purbakala). Secara geografis desa Pagerukir adalah perbukitan dengan ketinggian kurang lebih 265 meter di atas permukaan laut dengan luas 0,6 hektare.
Gambar 1.1: Tempat batu peninggalan situs Watu Dukun
Gambar 1.2: Batu berundak
Batu purbakala di situs Watu Dukun ini diperkirakan berusia kurang lebih 1000 tahun yang bertuliskan huruf Jawa kuno atau aksara kawi.
Gambar 1.3: Batu peninggalan masa Airlangga berusia 1000 tahun
Di dalam situs ini juga terdapat 4 batu seperti kursi dan altar atau batu yang menyerupai ranjang kemudian ada batu berundak.
Gambar 1.4: Altar dan batu kursi
Gambar 1.5: Batu berundak
Dalam gambar 1.3 dan 1.4 menggambarkan prasasti dengan bentuk mirip harimau. Namun ada pula yang mengatakan sebagai makhluk mitologi Hindu. Pada baris kiri pertama adalah Mi-Ku-I-Reng. Kemudian yang kedua adalah 1056, bisa dikatakan dibuat sejak saat itu. Kemudian pada baris ke tiga di baca Hu-Ni. Mi-Ku memiliki arti sebagai sabda atau ucapan. I-Reng adalah dengarkan sedangkan Hu-Ni adalah bunyi. Jadi dapat disimpulkan bahwa Mi-Ku-I-Reng adalah ucapan dan dengarkan bunyi/ nasehat dari seseorang guru atau resi saat itu untuk mendengarkan suatu petuah/wejangan. Kemudian di atas tahun dibuat, terdapat ukiran linggayoni. Dan baris keempat bertuliskan Ma-Dra-Dra/Mu-Dra-Dra yang terletak paling kanan. Pada baris ini dikatakan sebagai sebuah mantra.
Pada gambar 1.5 merupakan sebuah altar dan 4 batu kursi dan pada 1.7 merupakan batu berundak dimana sebagai salah satu ciri khas situs bersejarah.
Kemudian juga terdapat sendang yang dipercaya sebagai tempat membersihkan diri raja Airlangga masa itu. Air di sendang ini tidak pernah kering meskipun dimusim kemarau. Dengan kedalaman 2 meter yang memiliki tangga ke bawah dan 1,5 meter yang lebih luas. Sebelumnya sendang ini jadi satu, namun Kapolsek Ponorogo memerintahkan untuk memberi batas agar bersih karna terpisah, terlebih lagi dengan kedalaman yang berbeda.
Gambar 1.7: Sendang jagad dengan kedalaman 2 meter
- Fungsi situs Watu Dukun bagi masyarakat
Menurut juru pelihara situs Watu Dukun bernama pak Bibit Santoso, sebelum datangnya dinas purbakala ke Pagerukir, masyarakat menganggap bahwa tempat ini adalah punden atau dayangan (bukan makam). Kemudian pada bulan Maret tahun 2010 terdapat petugas dinas purbakala trowulan. Dan sejak situs ini mulai dirawat, dibersihkan dan juga diamankan.
Beberapa orang menjadikan situs ini sebagai tempat meditasi dan tirakat. Namun lebih banyak dijadikan sebagai tempat pendidikan terkhusus untuk mata pelajaran sejarah dijadikan sebagai sumber belajar. Untuk suatu hal yang menyangkut tentang keagamaan atau ibadah, pak Bibit mengatakan tidak ada batasan. Semua agama dibolehkan untuk beribadah di situs ini.
Khusus untuk sendang bagi masyarakat sendiri adalah tempat untuk menyucikan diri. Sendang di Watu Dukun ini bernama sendang Jagad. Selain dijadikan tempat untuk menyucikan diri, juga digunakan masyarakat sebagai perairan sawah.
Setiap malam Jum‟at Legi dan Selasa Kliwon situs ini banyak didatangi kalangan pejabat, pengusaha dan masyarakat umum yang memanjatkan doa agar terkabul. Namun saat ini situs itu tidak terlalu terawat setelah dilanda Covid-19 tahun itu dan sepi pengunjung. Dalam acara satu suro pun, para warga mengadakan acara seni reog ataupun kirab jika memiliki dana yang cukup.
KESIMPULAN
Situs Watu Dukun sudah ada sejak masa kepemimpinan Raja Darmawangsa Medang Kamulan. Situs ini terletak di desa Pagerukir kecamatan Sampung kabupaten Ponorogo ujung Barat perbatasan dengan Wonogiri Jawa Tengah. Tempat peninggalan ini saat itu menjadi tempat persembunyian Airlangga yang baru saja menikah dengan anak Raja Darmawangsa atau anak pamannya saat diserang oleh raja Warawuri. Tempat ini dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu Airlangga kepada Mpu Bharada bersama abdinya saat itu. Untuk saat ini situs Watu Dukun dijadikan sebagai tempat meditasi atau tempat tirakat oleh masyarakat sekitar. Selain itu juga dijadikan sebagai sumber belajar pendidikan peserta didik. Untuk para pendatang yang melakukan ibadah ditempat ini tidak ada batasan sama sekali, semua agama boleh melakukan ibadah di situs ini sampai dengan batas waktu yang ditentukan. Namun sebelum itu dianjurkan juga untuk membersihkan diri di Sendang Jagad yang tersedia di sebrang situs. Sendang ini sendiri pada zaman Airlangga digunakan untuk mensucikan diri atau membersihkan diri sebelum menuntut ilmu. Dan sekarang masyarakat sekitar menggunakannya untuk perairan sawah dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Brata, Ida Bagus, Ida Bagus Brata, Ruli Anto, Ida Bagus Nyoman Wartha, and I Putu Adi Saputra. “Situs Sejarah Perekat Kerukunan Dan Maknanya Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara.” Jurnal Santiaji Pendidikan (JSP) 11, no. 2 (2021): 100–108. https://doi.org/10.36733/jsp.v11i2.2437.
Hayati, Rafika. “Pemanfaatan Bangunan Bersejarah Sebagai Wisata Warisan Budaya Di Kota Makassar.” Jurnal Master Pariwisata (JUMPA) 01 (2014): 1–42. https://doi.org/10.24843/jumpa.2014.v01.i01.p01.
Krisnawati, Ega. “Sejarah Pemindahan Kerajaan Mataran Kuno (Medang Kamulan) Ke Jawa Timur.” Tirto.Id, 2022. https://tirto.id/sejarah-pemindahan-kerajaan-mataram-kuno- medang-ke-jawa-timur-gjsa.
Mardiani, Nofiyah, Umasih Umasih, and Murni Winarsih. “Materi Sejarah Masa Hindu-Buddha Dan Penggunaan Sumber Belajar Sejarah Dalam Pembelajarannya Di SMK.” Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam 7, no. 2 (2019): 328–47. https://doi.org/10.24235/tamaddun.v7i2.5501.
Nim, Marlin. “Peran Mpu Bharadaa Dalam Bidang Sosial Dan Politik Pada Masa Raja Airlangga Di Kerajaan Kahuripan,” 2022.
Nurjanah, Siti, Hamdan Tri Atmaja, and Ufi Saraswati. “Identifikasi Dan Pemanfaatan Potensi Sumber Belajar Berbasis Peninggalan Sejarah Di Ambarawa Kabupaten Semarang.” Indonesian Journal of History Education 5, no. 2 (2017): 67–75. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijhe.
Wartha, Ida Bagus Nyoman. “Manfaat Penting „Benda Cagar Budaya‟ Sebagai Peninggalan Sejarah/Arkeologi Untuk Kepentingan Agama, Sosial Budaya, Sosial Ekonomi, Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan.” Jurnal Santiaji Pendidikan 6 (2016): 189–96.
No responses yet